Beranda | Artikel
Manhaj Para Rasul Dalam Berdakwah Kepada Allah
Selasa, 8 Desember 2020

MANHAJ PARA RASUL DALAM BERDAKWAH KEPADA ALLAH

Oleh
DR. Muhammad bin Musa Alu Nashr

Manhaj para nabi maksudnya adalah jalan, metode dan sarana yang ditempuh oleh para Rasul dalam berdakwah kepada Allah. Dakwah kepada Allah adalah kewajiban dan satu keharusan agama. Sejauh dakwah ini sesuai dengan manhaj para rasul termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dakwah ini akan di terima disisi Allah, berhasil dan memiliki pengaruh baik serta terbukti memberikan hasil dengan idzin Rabb. Namun setiap kali dakwah itu jauh dari manhaj para rasul, baik dahulu atau sekarang, dakwah ini akan pahit hasilnya, tertolak dan membuat fitnah.

Dakwah seperti ini, ibarat orang yang mengurai benang setelah di pintal. Sudah menjadi kewajiban setiap da’i dan orang yang berkecimpung didalamnya untuk mengetahui, memahami dan mengikuti jalan yang telah di tempuh oleh para nabi dalam dakwah mereka kepada Allah. Allah telah menjelaskan dalam kitabNya dan menceritakan kepada kita kisah-kisah para nabi. Dia jelaskan jalan, cara dan hal yang diutamakan para nabi. Demikian juga Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan haal itu dalam sunnahnya yang shahih.

Saya tidak ingin memperpanjang pembukaan ini. Saya jelaskan beberapa point penting diantaranya:

1. Diantara tanda manhaj dakwah para nabi yang paling jelas adalah Ikhlas.
Mereka ikhlas dalam dakwah dengan hanya mencari wajah Allah. Ikhlas merupakan ruh amal shalih, sedangkan dakwah kepada Allah merupakan amal shalih dan ketaatan yang paling utama yang bisa mendekatkan seorang da’i kepada Allah. Demikianlah Allah memerintahkan kiat berbuat ikhlas dan menyatakan, ikhlas menjadikannya syarat diterima dan selamatnya satu amalan. Allah tidak akan menerima satu perbuatanpun kecuali dengan keikhlasan mencari wajah Allah. Allah berfirman:

أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.[Az-Zumar/39:2]

وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ

Padahal mereka tidak disuruh keculi supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.[Al-Bayyinah/98:5]

Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكََاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أََشْرَكَ فِيْهِ غَيْرَهُ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ

Saya adalah dzat yang paling tidak butuh kepada sekutu (teman). Barangsiapa melakukan satu perbuatan, dia sekutukan aku dengan yang lain pada amal itu, maka aku tinggalkan (biarkan) ia dengan sekutunya.

Allah tidak akan menerima satu amalanpun, kecuali dengan ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah maksud dari firman Allah:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya.[Al Kahfi/18:110]

Oleh karena itu para ulama’ berkata : Syarat diterimanya sebuah amal shalih ada dua yaitu ; amal perbuatan tersebut diikhlaskan untuk mencari wajah Allah dan syarat kedua adalah amal tersebut harus sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَ مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru (yang tidak ada petunjuk dari Rasul) dalam agama kita ini maka ia tertolak.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan itu tertolak.

Wahai saudara-saaudaraku …
Perhatikanlah ! bagaimana ketidak ikhlasan bisa menyebabkan sebuah amal tertolak dan kebinasaan si pelaku. Na’udzubillah

Dalam sebuah hadits yang shahih, yang maknanya : Tiga orang Pertama yang menjadi bahan bakar neraka adalah orang berilmu, orang yang mati syahid dan orang yang dermawan. Orang alim yang Allah berikan ilmu dan hikmat. Dia dibawa dihadapan Allah, Allah menyebutkan nikmat-nikmat lalu dia mengakuinya. Allah berkata kepada orang itu: “Hai hambaku, Aku telah memberikan ilmu kepadamu. Apa yang lakukan dengannya?”
Orang itu menjawab: “Wahai Rabbku, aku telah mempelajari dan mengajarkan !”
Lalu Allah berfirman: “Engkau bohong ! Engkau belajar dan mengajarkannya agar engkau disebut orang berilmu dan ucapan tersebut sudah terucap. Lalu Allah mengambil wajah orang tersebut dan mencampakkannya di neraka Jahannam. Demikian juga yang Allah lakukan kepada orang yang mati syahid berjuang bukan untuk mencari wajah Allah dan tidak untuk meninggikan kalimat Allah. Dia berjuang supaya disebut pemberani. Demikian juga Allah memperlakukan orang yang dermawan namun dia dermawan bukan karena Allah, dia berbuat demikian suapaya disebut dermawan[1].

Wahai saudaraku …
Keikhlasan itu harus ada pada diri seorang da’i. Jika seorang da’i tidak jujur dan tidak ikhlas, maka dia tidak mendapat taufik dari Allah dalam dakwahnya dan tidak mendapatkan pertolongan, pemeliharaan Allah serta Allah tidak akan memperdulikannya. Bertolak dari ini Allah berfirman tentang hak Yusuf Alaihissallam seorang pemuda yang memiliki keikhlasan:

كَذَلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang terpilih.[Yusuf/12:24]

Dalam sebuah qira’ah yang mutawatir الْمُخْلَصِينَ . Mukhlis adalah oraang yang ikhlas dalam beramal sedangkan mukhlash adalah orang yang Allah berikan keikhlasan dalam beribadah, ketaatan dan pembuktian penghambaannya di muka bumi.

Perhatikanlah tiga orang yang terpaksa menginap di gua, lalu batu pegunungan jatuh menutupi pintu gua. Apa yang telah menyelamatkan mereka dari musibah tersebut ? Yang telah menyelamatkan dari bencana tersebut adalah kejujuran dan keikhlashan mereka.

Masing-masing mereka berdo’a kepada Allah dengan perantara amalan mereka yang diikhlaskan kepada Allah. Salah seorang diantara mereka berkata: “Tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian dari batu besar ini, kecuali permohonan kalian kepada Allah dengan perantara amal shalih kalian”. maksudnya amalan yang paling ikhlas. Inilah satu jenis tawassul yang di perbolehkan dengan menjadikan amal shalih sebagai perantara kepada Allah. Kemudian masing berdo’a kepada Allah dengan amal shalihnya.

Orang pertama berdo’a kepada Allah dengan perantara bakti kepada kedua orangtuanya. Orang kedua berdo’a dengan perantara kemampuan menjaga kesuciannya dan meninggalkan zina pada saat dia mampu. Orang ketiga berdo’a dengan sifat amanahnya. Kemudian batu besar tersebut bergerak dan bergeser sehingga akhirnya mereka bisa keluar. Inilah balasan ikhlas bagi pelakunya.

Seorang da’i harus ikhlas supaya mendapatkan taufik dalam dakwahnya dan dakwahnya diterima oleh masyarakat. Orang ikhlas dicintai Allah dan dicintai manusia. Jika Allah suka kepada seorang hamba, dia akan memanggil Malaikat Jibril: ‘Ya Jibril saya suka kepada si Fulan, hendaklah kalian mencintainya!” kemudian Jibril memanggil para malaikat: “Sesungguhnya Allah suka kepada si fulan, maka cintailah ia !” kemudian ia di jadikan diterima di muka bumi. Orang ikhlas diterima hati banyak orang. Dengan sebab mereka dan dakwah mereka ini, Allah berkenan membuka hati yang tertutup, telinga yang tuli dan mata yang buta.

2. Ilmu dan Bashirah.
Allah berfirman.

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِين

Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.[Yusuf/12:108]

Dalam ayat ini, Allah jelaskan, jalan dakwah kepada Allah merupakan jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru dengan bashirah dari Allah dan mengajak dengan ilmu dan kepada ilmu, karena ilmu adalah pondasi perbaikan agama.

Ketika penduduk Makkah berada dalam kerusakan; rusak aqidah dan akhlaq. Mereka memakan bangkai, mengubur anak perempuan hidup-hidup, meminum khamer, melakukan perbuatan yang membinasakan dan membuat patung-patung dari kurma dan lainnya, jika lapar mereka memakan patung tersebut.

Ayat-ayat yang turun mengajak kepada ilmu, mengajak membaca dan menyuruh dengan perintah yang lain banyak, karena ilmu merupakan asas perbaikan. Karenanya lima ayat yang pertama kali turun, mengajak membaca, belajar dan mengajar. Allah berfirman

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.[Al Alaq/96:1-5]

Ayat-ayat permulaan ini tidak mengajak nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memecahkan wadah khamer, menghancurkan patung, ataupun yang lain, akan tetapi mengajak kepada ilmu. Allah telah mengajar manusia apa yang belum ia ketahui, mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Lalu memberikan kalian pendengaran, penglihatan dan hati. Setiap kali manusia itu belajar dan memahami agamanya, dia akan semakin dekat kepada Rabbnya. Dan setiap kali mereka mengetahui tipu daya syaithan manusia dan jin, maka semakin mengenal kebenaran dan mengikutinya, mengenal keburukan dan menjauhinya.

Demikianlah seharusnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim para da’i dan tenaga pengajar, beliau mengirim Mush’ab bin Umair ke Madinah, mengutusnya dalam keadan mengerti tugas sebagai pengajar dan mengerti materi yang diserukan. Demikian juga Rasulullah mengirim Abu Musa Al-‘As’ariy dan Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Mereka itu dalam keadaan mengerti apa yang akan mereka dakwahkan. Ketika Rasulullah mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ

Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kali kau dakwahkan adalah شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ  (persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak di semabah kecuali Allah dan persaksian bahwa Muhammad Rasulullah) jika mereka mentaatimu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibka kepada mereka sholat lima waktu ….

Rasul tidak pernah mengirim orang awam atau orang bodoh untuk mengajak manusia kepada agama ini, akan tetapi hanya mengutus para da’i dan ulama’. Dari sini kita dapat mengetahui bahaya dan mudlaratnya sebagian jama’ah-jama’ah dakwah yang mengumpulkan orang dari pasar, lalu mengarahkan mereka dan mengutus mereka sebagai khatib dan pemberi peringatan. Mereka menasehati dan mengingatkan manusia, sementara mereka tidak memiliki ilmu. Sehingga mereka menganggap jelek sesuatu yang baik dan menganggap benar sesuatu yang salah.

Mereka menyebarkan hadits-hadits palsu dan cerita-cerita bohong mengenai Rasulullah. Mereka menyangka telah berbuat baik padahal tidak.

Oleh karena itu, seorang da’i harus mengetahui keadaan obyek dakwah, subyek dan materi dakwahnya serta memiliki kemampuan mematahkan hujjah dengan hujjah, dalil dengan dalil. Demikian juga mampu mengalahkan kebathilan dengan kebenaran. Sebagaimana firman Allah:

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُون

Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensipati (Allah dengan sifat-sifat yang tak layak bagi-Nya).[Al Anbiya/21:18]

Oleh karena itu berdakwah kepada Allah harus berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan kebodohan ataupun kebutaan. Seorang da’i harus mempersenjatai diri dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Dia mesti menumpahkan perhatian kepada ilmu dan membuat program pengajaran untuk semua orang dan juga membuat program praktek lapangan dakwah kepada Allah. Adapun dakwah yang tegak diatas kebodohan dan taqlid (ikut-ikutan), memusuhi ilmu dan ulama’, maka itu bukan dakwah para nabi dan tidak berada diatas manhaj para nabi sedikitpun.

3. Termasuk manhaj dakwah para nabi adalah mendahulukan yang terpenting baru yang penting (membuat skala prioritas).
Berdasarkan hal ini, kita melihat para nabi memulai dakwah mereka dengan tauhid. Mereka memulai dengan hal-hal yang mendasar (fondasi), tidak memulai dari atap karena orang yang memulai dari membangun atap sebelum fondasi, maka atap itu akan menjatuhi kepada mereka.

Semua para nabi mengucapkan perkataan seorang nabi:

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

Wahai kaumku, sembahlah Allah, kalian tidak memiliki tuhan selain Dia.[Al-A’raf/7: 64]

Dalam hadits Mu’adz yang telah lewat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari Mu’adz agar memulai dari yang terpenting. Jika seandainya ada seorang dokter yang hendak mengobati orang sakit dari penyakit yang sangat berbahaya, kemudian mengetahui penyakit lain pada diri si pasien, seperti pilek (demam) atau penyakit ringan yang lain, lalu si dokter sibuk menangani penyakit ringan tersebut, sebelum menangani penyakit yang berbahaya itu. Jadilah dokter tersebut penipu pasien. Dokter tersebut membantu proses kematian pasien. Jika ada pasien menderita kekurangan darah, kemudian dokter memulai dengan mengobati luka yang ada pada jari jemari kaki pasien, maka jadilah dokter ini orang jahat dan berperan dalam kematian si pasien, jika sampai pasien itu mati. Karena kewajiban seorang dokter mengobati penyakit yang paling berbahaya serta mengancam kehidupan si pasien.

Orang-orang yang sibuk dengan perkara cabang sebelum perkara tauhid dan dari perkara mendasar yang lain, ibarat dokter yang ingin mengobati orang mati, atau ibarat orang yang ingin menghidupkan orang mati atau seperti orang yang membangun atap sebelum fondasi. Alangkah gampangnya atap itu menimpa kepala mereka.

Bagaimanapun lamanya seorang da’i yang menyeru kepada tauhid, tidak boleh merasa bosan dan lelah dan tidak boleh merubah dan mengganti manhajnya, sehingga orang khusus dan awam meridhoinya. Akan tetapi wajib baginya untuk tetap konsisten diatas aqidah tauhid dan berdakwah kepada tauhid diatas ilmu dan komitmen padanya sampai mati.

Lihatlah Nabi Nuh selama 950 tahun hanya berdakwah kepada tauhid, menasehati dengan tauhid dan hanya memperingatkan umatnya dari kesyirikan, tinggal selama 950 tahun dan tidak menegakkan panji, tidak lelah dan bosan dan tidak pula merasa lelah, sudah sedemikian rupa, tidak beriman dengannya kecuali sedikit. Demikian juga para nabi yang lainnya banyak, mereka menyeru kapada tauhid bertahun-tahun dan berhari-hari. Tidak mengikuti mereka kecuali seorang atau dua orang dan sebagian mereka datang tanpa seorang pengikutpun, apakah mereka meninggalkan dakwah tauhid? Jawabnya: ‘Tidak.’

Lihatlah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal 23 tahun dalam keadaan menyeru: “wahai manusia katakanlah la ilaha ilaa allah niscaya kalian beruntung”. Sedangkan sebagian da’i berputus asa dan berkata: ‘kami telah mendakwahi mereka berkali-kali dan mereka tidak mau menerimanya. Kita mesti menyeru mereka kepada politik, demonstrasi dan unjuk rasa. Lalu meninggalkan manhaj para nabi dalam berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak menuai kecuali penyesalan dan penghancuran umat, karena mereka menyibukkan umat dalam perkara yang bukan bidangnya, menyibukkan mereka dengan perkara yang khusus dimiliki para raja dan penguasa, menyibukkan mereka pada selain tujuan penciptaan mereka. Allah berfirman tentang tujuan penciptaan manusia:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.[Adz Dzariyat/51:56]

Mereka telah menyibukkan manusia dengan politik internasional yang kotor dan tidak menegakkan peribadatan mereka, tidak menjadikan mereka sebagai hamba robb, tidak mengajarkan mereka tauhid, sholat dengan rukun, kewajiban, khusu’ dan sunnahnya dan tidak mengajarkan manusia sesuatu yang berguna bagi mereka dalam agama dan dunianya.

4. Seorang da’i harus menjadi contoh teladan yang baik bagi obyek dakwahnya (mad’u) dan menjadi teladan pada dirinya, karena seorang da’i jika tidak demikian maka dakwahnya akan menjadi bencana baginya dan dakwah tidak mendapatkan orang yang mau mendengarnya.
Jika mereka melihatnya memerintah manusia untuk ikhlas, didapati ia seorang yang berbuat riya’. Jika menyeru manusia untuk tawadhu’, didapati dia seorang yang sombong sekali. Jika menyeru manusia untuk berderma, didapati dia seorang yang paling kikir. Jika menyeru orang untuk berpegang teguh kepada syariat islam, tidak memakan riba dan meninggalkan kemaksiatan, mereka melihatnya selalu bermaksiat. Menyeru orang untuk memberikan penutup aurat istri mereka dan memaksa anak-anaknya berjilbab, lalu mereka melihat anak, saudara perempuan dan istrinya berpakaian minim. Bagaimana orang akan berbaik sangka dengan dakwahnya? bagaimana mereka mau mendengarkan dan melihat serta mengambil ilmu darinya? Oleh karena itu teladan yang baik harus di miliki seorang da’i dalam dakwahnya, jika tidak terdapat hal ini, maka dia tidak akan memiliki pengaruh pada para mad’u, bahkan mereka akan lari dan meninggalkanya.

Dari sini Allah menjadikan para nabi orang yang paling baik nasab, akhlak dan bentuk tubuhnya. Allah menyelamatkan tubuh mereka dari penyakit yang tidak disukai manusia, sepeerti penyakit kusta, dan yang lainnya dari panyakit yang menular. Demikian juga Allah memberikan mereka akhlaak yang mulia dan memberikan penutup mereka nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhlak yang paling mulia. Allah khabarkan dalam firmanNya:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.[Al Qalam/68:4]

Ditanya Umul Mukminin Aisyah tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu menjawab kepada penanya: Wahai anak saudaraku, apakah kamu telah membaca Al-Qur’an?’ Dia jawab: ‘Ya’. Lalu beliau Radhiyallahu anha berkata: كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ  ‘Akhlaknya Rasulullah Al-Qur’an’.

Perkataan Aisyah disini telah mencakup semua sifat dan sejarah hidup Rasulullah.

Telah disusun satu kitab tentang kemulian akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumlah 12 jilid dengan judul: Nadhratun Na’iim Fi Makaarim Akhlaqir Rasulil Kariim, yang telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa. Akan tetapi inipun masih sedikit dari semestinya. Demikian juga seorang penulis barat menulis sebuah buku yang diberi nama: “Seratus Tokoh Dunia yang telah Merubah Sejarah”. Dia menjadikan Rasulullah sebagai orang pertama dalam buku tersebut. Sungguh ini adalah persaksian yang benar dari musuh Islam, walaupun sedikit sekali mereka berbuat adil, akan tetapi dia telah berbuat adil dalam bukunya ini, karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang berjalan dimuka bumi ini daan makhluk terbaik yang Allaah ciptakan. Allah mengutusnya untuk menyempurnakan akhlak manusia, sebagaimana sabda beliau:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ.

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Oleh karenaa itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para da’i untuk menjadi contoh teladan yang baik bagi manusia, Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. [Ash Shaff/61:2-3]

Sekarang kalian duduk dalam ceramah ini, lalu datang penceramah dan mengatakan: ‘rokok haram dan makruh, berbahaya, dapat mengakibat penyakit ini dan itu’. Kalian serius sekali mendengarkannya. Ketika kalian mendengarkannya dengan sangat serius, tiba-tiba dia mengeluarkan rokok kreteknya didepan kalian dan mengisapnya. Apa yang akan kalian katakan? Apakah kalian akan mendengarkan dan memperhatikannya setelah itu? Niscaya kalian akan mengatakan: ‘orang ini lebih butuh nasehat dari kita’.

Berapa banyak kemudhoratan dakwah mereka ini, mereka menyeru kepada sunnah, padahal mereka adalah orang yang paling jauh, bahkan melakukan kebidahan, menyeru orang untuk taat, padahal mereka setiap hari bermaksiat. Merekalah orang yang menyeru kepada sunnah, sekaligus menyembelihnya.

Adapun pakaian mereka, pakaian ala Eropa, mengenakan pantalon yang sempit yang menampakkan auratnya, kemudian melaknat Amerika dan mengatakan:’ kami memboikot Amerika’, sedangkan kalian mengenakan dasi dan memasang satelit dirumah kalian.

Kalau begitu, wahai saudara-saudaraku…
Seorang da’i harus menjadi teladan dalam dakwahnya, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendidik generasi terbaik, generasi contoh dan teladan. Beliau mendidik para sahabat diatas akhlak yang mulia sehinga mereka lulus dari madrasah kenabian dan bertebaran dipermukaan bumi.

Bangsa Arab tidak masuk negeri kalian ini dengan peperangan, akan tetapi dengan perdagangan. Datang kenegeri ini para sahabat dan tabi’in sebagai pedagang yang membawa akhlak mulia, muamalah yang baik, amanah dan kejujuran, sehingga penduduk Indonesia ini terpengaruh dan masuk ke dalam agama Islam. Maka sangat perlunya seorang da’i ila Allah untuk menjadi teladan

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلا آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

Seorang dibawa pada hari kiamat dan dilemparkan ke neraka lalu terburai ususnya di neraka, lalu dia berkeliling seperti keledai berkeliling pada batu penggilingan, lalu berkumpullah ahli neraka mengelilinginya daan berkata: ‘Wahaai fulan kenapa kamu demikian? Bukankah kamu memerintahkan kami kepada kemakrupan dan mencegah kami dari kemungkaran. Dia menjawab: ‘memang saya dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan, saya tidak melaksanakannya dan malarang kalian dari kemungkaran dan saya melaksanakannya. [HR Bukhari]

5. Berdakwah kepada Allah dengan hikmah, nasehat yang baik dan lemah lembut kepada manusia, karena kekasaran, kekerasaan dan sikap arogan dapat menjauhkan manusia dari dakwah.
Oleh karena itu para nabi adalah orang yang paling kasih kepada makhluk dan yang paling mengetahui kebenaran. Sifat ini berpindaah kepada Ahlu Sunnah wal Jamaah pemilik manhaj yag benar, sebagaimana disampaikan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah dalam ucapannya: ‘Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah orang yang paling kasih kepada makhluk dan paling mengetahui kebenaran’.

Allah telah menyampaikan kepada NabiNya, Nabi yang dicintai sahabat dan umatnya sampai mereka menyerahkan kepadanya jiwa, harta dan anak-anak mereka:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.[Ali-Imran/3:159]

Beliau-lah yang memerintahkan untuk berlemah lembut dan melarang kekerasan, dalam sabdanya:

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

Kelemah lembutan tidaklah ada pada sesuatu, kecuali menghiasinya dan tidak hilang dari sesuatu kecuali merusaknya.[HR Muslim]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ

Siapa yang tidak memiliki kelembutan maka tidak mendapat kebaikan.[HR Muslim]

Beliau-pun berkata kepada salah seorang sahabatnya:

إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

Sesungguhnya terdapat padamu dua sifat yang Allah dan rasulNya cintai; lemah lembut dan tidak tergesa-gesa.[HR Muslim]

Demikian juga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kekerasan dalam sabdanya:

إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

Sesungguh sejelek-jeleknya pengembala adalah yang kasar. Berhari-hatilah jangan sekali-kali kamu menjadi golongan mereka.

خِيَارُ أُمَرَاءِكُمْ الذِيْنَ تَدْعُوْنَ لَهُمْ وَيَدْعُوْنَ لَكُمْ وَشِرَارَ أُمَرَاءِكُمْ الذِيْنَ تَلْعَنُوْنَهُمْ و يَلْعَنُوْنَكُمْ.

Sebaik-baiknya pemimpin adalah yang kalian mendoakan kebaikan padanya dan mereka mendoakan kebaikan kepadamu. Dan sejelek-jeleknya pemimpin adalah yang kalian melaknatnya dan mereka melaknat kalian.

Seorang da’i sepatutnya menjadi orang yang memiliki kasih sayang kepada obyek dakwahnya, berlemah lembut dan mengharapkan hidayah mereka dan tidak mengharapkan kesulitannya.

(Ceramah syaikh Dr Muhammad bin Musa Alu-Nasr dalam acara  Daurah Islamiyah, Hari/Tanggal :  Ahad sampai Rabu, 3-6 Muharram 1423H/17-20 Maret 2002M di Surabaya. Diterjemahkan oleh Nusadi dan Kholid Syamhudi Lc)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1] Hadits lengkapnya sebagai berikut (-admin)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ   قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ : إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ اْلقُرْآنَ فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌ ، فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ, قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. رواه مسلم (1905) وغيره

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab : ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.’ Allah berkata : ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/25389-manhaj-para-rasul-dalam-berdakwah-kepada-allah-2.html